Pages

Wednesday, May 19, 2010

Museum Bank Indonesia - Kolonialisme

Langkah merapat pada dinding putih dengan suara yang makin pelan. Dahulu pasti langkah yang berada di sana bukan langkah yang pelan dan lemah seperti yang baru saja. Pasti suaranya lebih berat, lebih berderap, lebih tak ramah. Langkah dari sepatu yang membungkus kaki dengan pijakan yang gagah. Suara langkah ini menjadi pembiasan pertama yang kudengar di sana. Ada imajinasi yang bermain mencoba menemukan bayangan berseragam. Inikah kesibukan itu, inikah aroma yang tercium pada masa yang lampau itu. Ada warna yang sama, wajah yang sama, cerutu yang sama, dan helm yang sama. Aku semakin merapat di dinding. Terus mendengar gema, terus mendengar gaung. Tidak apa, kataku. Tidak apa aku di sini sejenak lagi.
Bayang-bayang di balik kaca tebal itu tampak tersedu dan bersendu. Aku mengamati siluet yang bergetar hebat karena perih dan dera tertahan. Siluet itu tetap memunculkan hidungnya yang runcing laksana milik putri kaisar inggris. Karena begitu dekat dengan ikal yang menari berayun di kening yang tertunduk. Siluet wajah itu begitu cantik bertemankan siluet ikal rambut tergerai di sisinya. Kaca itu mengapa hanya tertutup. Tak bisa kah kau mencuri sejenak udara dari pohon di depan jendelamu itu? Aku tidak sampai hati. Aku tidak berani berlari ke arah kaca yang menutupi siluetmu. Aku hanya bisa berharap sekali saja kau sadari keberadaan pohon di dekatmu sebagai teman setia. Jangan kau hanya bersenggukan di balik kaca tebal itu.

Ketika itu aku mengempaskan alam yang berada di atas tanah. Ketika itu aku mengabaikan dan lelah akan panorama di bawah yang berpijak di lantai. Aku terkesiap mendapati kecantikan yang mati di sini. Aku terkejut menangkap keabadian dan keangkuhan yang hadir di atas sini. Aku ingin berkata, ‘Kamu curang.’ Entah karena aku iri akan keangkuhanmu yang abadi itu. Ataukah karena aku senang berada di atas sini daripada di bawah tadi. Aku menemukan hanya derap yang menakutkanku, dan juga tangis sesenggukan yang membuatku menderita untuknya, itu semua yang kudapat di alam bawah tadi. Apa yang terjadi, mengapa semua yang di atas dan semegah ini, tidak bisa menjaga cerita pilu di bawah tadi? Aku terus menerawang ke atas, memperhatikan keanggunan dan keangkuhan abadimu yang egois itu, dan terus berbisik, ‘Kamu curang.’

Kini, mungkin di bawah bukanlah tempat yang aku inginkan. Di bawah tadi terlalu menyakitkan dan putus asa. Di koridor hanya ada langkah yang menakutkan. Di balik kaca pun hanya ada deraan perih. Aku tak butuh itu. Tapi aku juga membencimu duhai pemilik sisi atas. Kau begitu egois berada disana tanpa menaungi alam di bawahmu. Aku lebih membencimu karena tak menjaga dan tak melindungi padahal kau pemilik kekokohan berlindung. Aku hanya ingin keluar dari perut sejarah ini. Aku harus kembali pada alam ku yang lebih melarut dan bercampur. Aku tak mau berlama dalam sejarah. Apalagi jika itu sejarah yang tak menawarkan cerita bahagia. Hanya nyata yang tak berwujud namun menorehkan perasaan deru derap dan dera derita. Cukup sampai di sini saja aku mengimajinasikan semua dunia yang lama ini.

Friday, May 7, 2010

Fatahillah dan Kota Tua Jakarta

Perburuan foto-foto ini adalah perburuan pertama sejak aku selalu mengurung diri di rumah… ^-^v meratapi masa-masa kegelapan dengan bertapa. Dua orang sahabat, Mella dan Gemmie yang dua-duanya berkerudung, sukses menghibur hatiku ketika mengajakku ke sebuah tempat : Kota Tua dan Fatahillah, Jakarta.

Kekecewaan terbesarku ketika berada di sana adalah : aku hanya berbekal kamera yang lebih “buruk” dari kamera pocket sekalipun, yaitu kamera Handphone. Tapi itu adalah kamera hape yang bersejarah dalam perjalanan usiaku yang lama. ^-^v (duh mellow gini hidangan pembukanya) xixixixixi…..

Masuk ke Museum Fatahillah, aku menyempatkan memotret bangunan besar kuno yang terdiri dari banyak jendela berjalusi. Yah, ini sepertinya dulu adalah bangunan perkantoran yang megah di jaman Belanda. Foto ini bisa berkata banyak tentang arsitektur Indonesia-Belanda kala itu. Bangunan besar, dengan “penghawaan” maksimal untuk kawasan tropik Indonesia : langit-langit yang maha tinggi, dan jendela-jendela yang maha banyak… ^-^v

Aku, masuk ke dalam bangunan. Dan aku temukan aneka barang kuno yang hanya bisa dilihat lengkap dengan tanda-tanda “jangan disentuh” yang selalu mengingatkanku dengan kali terakhir aku studi-tur ke sini (SMP apa SMA yah?). Aku menengok sana-sini mencari jalan lain yang lebih adventurik (xixi ^-^v mulai kayak anak ilang), dan aku temukaaannn…. Tangga! Tangga itu kokoh sekali. Meski dari kayu dan sudah tua, tapi kekokohannya terlihat dari dimensi elemen tangganya yang besar dan tebal. Masih terawat dengan sangat baik. Menengok tangga itu, aku mulai merasa syair-syair menari-nari di kepalaku. (^_^v aku suka berada di bawah tangga menebak-nebak apa yang bakal aku temukan berikutnya).
Akhirnya tiba di lantai atas! Aku melihat kekokohan railing, lantai dan langit-langit bangunan itu dengan takjub. Hm, inilah kecintaan yang bisa dihayati oleh semua pencinta bangunan tua dengan kemegahan teknologi lama : kayu. Detail yang ter-ekspos, dan material kerangka yang tersusun elemen per elemen lainnya, menjadi hal yang seru untuk dinikmati mata-mata yang jeli menilai sejarah dan seni. ^-^ ck ck ck (^_^v aku pilih memfoto railing tangganya yang besar dan bentuk pintu dan jendelanya yang tinggi…. Nuansa patriotisme dengan warna-warna yang muncul dari imajinasiku sendiri ketika disana).
Hm…. Pelataran Kota Tua yang terkenal ini, memang luaaaarrr biasa luasnya. Halaman dengan perkerasan batu cetak beton dan juga sedikit taman sebagai aksen hijau, menjadi area istirahat yang sekaligus area hiburan untuk yang mau menikmati satu lagi keunikan tempat ini : “Naik Sepeda Onthel !” Yepz, banyak anak seragam SMU bersliweran di area halaman ini. Ada yang main sepeda onthel sendirian mutar-mutar sekedar “pengen tahu rasanya jadi Belanda ^_^” dan ada juga pemandangan film-film India Romantis disini, berboncengan naik onthel yang “Pengen tahu rasanya jadi Belanda punya pacar pribumi ^-^v”. Silahkan, sepeda onthel disewa lengkap sampai helm warnawarninya.

Keluar dari pelataran KotaTua dan Fatahillah, sebelum menuju terminal Busway untuk pulang ke “tanah peradaban lama”, kami bertiga menyempatkan diri ke Museum yang dibangga-banggakan Mella, museum Bank Indonesia. Kenapa dia bangga : satu, gak pake bayar tiket (beda ama museum lain); dua, lobi yang mewah; dan tiga, banyak objek hunting yang seru buat foto (yang ini bikin aku tambah nyesal gak pegang kamera bagus untuk cahaya interior).