Langkah merapat pada dinding putih dengan suara yang makin pelan. Dahulu pasti langkah yang berada di sana bukan langkah yang pelan dan lemah seperti yang baru saja. Pasti suaranya lebih berat, lebih berderap, lebih tak ramah. Langkah dari sepatu yang membungkus kaki dengan pijakan yang gagah. Suara langkah ini menjadi pembiasan pertama yang kudengar di sana. Ada imajinasi yang bermain mencoba menemukan bayangan berseragam. Inikah kesibukan itu, inikah aroma yang tercium pada masa yang lampau itu. Ada warna yang sama, wajah yang sama, cerutu yang sama, dan helm yang sama. Aku semakin merapat di dinding. Terus mendengar gema, terus mendengar gaung. Tidak apa, kataku. Tidak apa aku di sini sejenak lagi.
Bayang-bayang di balik kaca tebal itu tampak tersedu dan bersendu. Aku mengamati siluet yang bergetar hebat karena perih dan dera tertahan. Siluet itu tetap memunculkan hidungnya yang runcing laksana milik putri kaisar inggris. Karena begitu dekat dengan ikal yang menari berayun di kening yang tertunduk. Siluet wajah itu begitu cantik bertemankan siluet ikal rambut tergerai di sisinya. Kaca itu mengapa hanya tertutup. Tak bisa kah kau mencuri sejenak udara dari pohon di depan jendelamu itu? Aku tidak sampai hati. Aku tidak berani berlari ke arah kaca yang menutupi siluetmu. Aku hanya bisa berharap sekali saja kau sadari keberadaan pohon di dekatmu sebagai teman setia. Jangan kau hanya bersenggukan di balik kaca tebal itu.
Ketika itu aku mengempaskan alam yang berada di atas tanah. Ketika itu aku mengabaikan dan lelah akan panorama di bawah yang berpijak di lantai. Aku terkesiap mendapati kecantikan yang mati di sini. Aku terkejut menangkap keabadian dan keangkuhan yang hadir di atas sini. Aku ingin berkata, ‘Kamu curang.’ Entah karena aku iri akan keangkuhanmu yang abadi itu. Ataukah karena aku senang berada di atas sini daripada di bawah tadi. Aku menemukan hanya derap yang menakutkanku, dan juga tangis sesenggukan yang membuatku menderita untuknya, itu semua yang kudapat di alam bawah tadi. Apa yang terjadi, mengapa semua yang di atas dan semegah ini, tidak bisa menjaga cerita pilu di bawah tadi? Aku terus menerawang ke atas, memperhatikan keanggunan dan keangkuhan abadimu yang egois itu, dan terus berbisik, ‘Kamu curang.’
Kini, mungkin di bawah bukanlah tempat yang aku inginkan. Di bawah tadi terlalu menyakitkan dan putus asa. Di koridor hanya ada langkah yang menakutkan. Di balik kaca pun hanya ada deraan perih. Aku tak butuh itu. Tapi aku juga membencimu duhai pemilik sisi atas. Kau begitu egois berada disana tanpa menaungi alam di bawahmu. Aku lebih membencimu karena tak menjaga dan tak melindungi padahal kau pemilik kekokohan berlindung. Aku hanya ingin keluar dari perut sejarah ini. Aku harus kembali pada alam ku yang lebih melarut dan bercampur. Aku tak mau berlama dalam sejarah. Apalagi jika itu sejarah yang tak menawarkan cerita bahagia. Hanya nyata yang tak berwujud namun menorehkan perasaan deru derap dan dera derita. Cukup sampai di sini saja aku mengimajinasikan semua dunia yang lama ini.